Kremasi atau pengabuan adalah
praktik penghilangan jenazah manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya.
Biasanya hal ini dilakukan di sebuah krematorium/pancaka atau biasa juga di
sebuah makam di Bali yang disebut setra atau pasetran. Praktik kremasi di Bali
disebut ngaben.
Penguburan atau kremasi merupakan
pilihan, meskipun kremasi akan lebih praktis, lebih murah, dan lebih disukai.
Apa yang tertinggal dari tubuh setelah kematian hanyalah kerangka, sedangkan
almarhum telah mengalami kelahiran yang baru. Dan pertanyaan yang muncul
sekarang adalah berapa lama jenazah boleh disimpan? Kremasi atau penguburan
dapat dilakukan dengan segera, pada keesokan harinya, atau bahkan pada hari
yang sama. Akan tetapi, mungkin ada keluarga yang ingin menyimpan jenazah untuk
beberapa hari karena berbagai alasan, seperti untuk menunggu kepulangan anggota
keluarga yang jauh, atau untuk memberi kesempatan bagi sanak saudara dan
sahabat untuk memberikan penghormatan terakhir. Jadi, keputusan untuk segera
dikuburkan atau dikremasi, atau disimpan selama beberapa hari, tergantung pada
keputusan keluarga atau permintaan almarhum jika dia ada menyatakan
keinginannya sebelum meninggal.
Sebelum
dikremasi, apa yang seharusnya dilakukan terhadap abunya? Umat keturunan
Chinese mempunyai kebiasaan meletakkan abu di dalam kendi di tempat penyimpanan
abu jenazah (columbarium). Umat Buddha Theravada di Myanmar biasanya membiarkan
abunya di krematorium untuk dibuang oleh pekerja, walapuna ada beberapa anggota
keluarga yang memilih mengumpulkan abunya dan membuangnya di laut atau sungai.
Bagi umat Buddha Theravada di Malaysia, biasanya:
1. Abu diletakkan di
tempat penyimpanan abu jenazah;
2. Membiarkan abu
tersebut dibuang pekerja krematorium; atau
3. Membuang abu
tersebut ke laut atau sungai.
Semuanya merupakan pilihan. Jika seseorang memilih
meletakkan abu tersebut di tempat penyimpanan abu jenazah dengan tujuan untuk
mengenang, tidaklah perlu mempersembahkan atau menyelenggarakan berbagai
upacara atau ritual atas kendi yang berisi abu tersebut. Hal ini karena
almarhum telah dilahirkan kembali dan apa yang tertinggal hanyalah abu.
Daripada menyelenggarakan upacara yang tidak bermanfaat, lebih baik ber-dana ke
vihara dan melimpahkan jasa kebajikan kepada almarhum.
Membiarkan
abu di krematorium atau menaburnya di laut atau sungai juga boleh. Karena,
seperti yang telah dikatakan, apa yang tertinggal hanyalah sisa jenazah, hanya
unsur tanah, air, angin, dan api. Seseorang itu bukanlah tulang atau abu.
Kesadarannya telah terpisah dan dilahirkan dalam bentuk baru. Maka itu,
abunya boleh dibuang, tanpa adanya sikap tidak hormat. Sang Buddha mengajarkan
kebijaksanaan dan ketidakmelekatan. Apa yang seharusnya kita lakukan adalah
memperlakukan sesama dengan cinta kasih ketika kita masih hidup, dan setelah
orang yang kita kasihi meninggal, kita tetap menjalankan hidup dengan penuh
manfaat sehingga almarhum, seandainya dia bisa mengetahuinya, akan bangga
kepada kita, bangga dengan kita yang hidup dengan baik sesuai dengan Ajaran
Buddha.
Jika jenazah disimpan selama
beberapa hari sebelum penguburan atau kremasi, kita boleh mengundang bhikkhu
(satu atau lebih) untuk memberikan khotbah Dhamma, membaca paritta atau sutta,
dan menganugerahi tuntunan Tisarana dan Panca Sila. Para sahabat yang beragama
Buddha boleh melayat dan membaca paritta juga. Mereka juga boleh duduk
bermeditasi bersama atau mengadakan diskusi Dhamma. Pembacaan sutta tertentu
dari kitab suci juga boleh dilakukan. Kita bisa memilih kutipan yang tepat dan
bermanfaat dari kitab suci untuk upacara ini. [Syair bahasa Pali untuk dibaca
dan direnungkan ada pada Lampiran (i) dan (ii) dari buklet ini]. Anggota
keluarga dan sahabat juga boleh mengucapkan beberapa patah kata, mengenang
perbuatan baik dan sifat baik dari almarhum. Jadi, seperti yang terlihat,
segalanya tergantung pada keluarga almarhum apakah mereka mau mengadakan
pertemuan dan pelayanan yang bermanfaat dan bermakna. Kita boleh kreatif dan
melakukan hal yang baru dalam melaksanakan pelayanan tersebut untuk menghormati
almarhum.
Kremasi atau pengabuan adalah
praktik penghilangan jenazah manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya.
Biasanya hal ini dilakukan di sebuah krematorium/pancaka atau biasa juga di
sebuah makam di Bali yang disebut setra atau pasetran. Praktik kremasi di Bali
disebut ngaben.
Pada hari pemakaman atau
pengkremasian, bhikkhu boleh diundang untuk membacakan paritta dan menganugerahi
tuntunan Panca Sila, setelah itu mereka juga boleh memimpin atau mengikuti
mobil jenazah dengan mobil yang lain ke tempat pemakaman atau krematorium.
Biasanya, ada kebiasaan mempersembahkan jubah kepada bhikkhu sebagai suatu
bentuk kebajikan. Anggota keluarga boleh mempersembahkan jubah kepada bhikkhu,
baik di rumah sebelum berangkat ke krematorium ataupun ketika tiba di
krematorium. Jubah boleh diletakkan di atas peti mati agar bhikkhu mengambilnya
sebagai jubah pamsukula (jubah yang telah dibuang) atau dapat dipersembahkan
langsung kepada bhikkhu. Tidak ada aturan yang baku untuk prosedur di atas.
Kita boleh menyesuaikan dan mengubahnya sesuai keperluan. Setelah persembahan
jubah, bhikkhu akan memimpin anggota keluarga melaksanakan pelimpahan jasa kepada
almarhum dan semua makhluk. Pada tempat pemakaman atau krematorium, bhikkhu
akan membacakan paritta singkat sebelum peti mati diturunkan ke dalam tanah
atau dimasukkan ke dalam tungku pembakaran.
Biasanya,
pembacaan paritta diakhiri dengan syair berikut:
Anicca vata sankhara
Uppadava yadhammino
Uppajjitva nirujjhanti
Tesam vupasamo sukho
Ketidakkekalan adalah hakekat dari segala sesuatu yang
berkondisi.
Secara alami timbul dan lenyap.
Setelah timbul, akan hancur dan lenyap.
Penaklukan dan penghentian keadaan tersebut adalah
kebahagiaan sejati.
[Jika tidak ada bhikkhu, anggota keluarga, sanak saudara,
atau sahabat dekat boleh membacakan syair ini di krematorium. Sutta lain yang
berhubungan, seperti Paticca Samuppada (lihat hlm. 55) atau Salla Sutta (Anak
Panah; lihat hlm. 67) juga boleh dibacakan]
Penaklukan
dan penghentian di sini menunjukkan pencapaian kearahatan, tingkat kesucian
tertinggi dalam agama Buddha. Seorang arahat, yang telah terbebas dari
kemelekatan, tidak akan dilahirkan kembali. Jika ada kelahiran maka akan ada
kematian. Jika tidak ada kelahiran, tidak akan ada kematian. Penghentian
kelahiran berarti penghentian penderitaan. Inilah kebahagiaan sejati.