Dalam pandangan Agama Buddha,
perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam
menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup
sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di vihara – sebagai Bhikkhu,
samanera, anagarini, silacarini – ataupun tinggal di rumah sebagai anggota
masyarakat biasa.
Sesungguhnya dalam Agama Buddha,
hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja. Masalah terpenting di sini
adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka
hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan
kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah
seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. Sikap ini pula yang
dipuji oleh Sang Buddha, seperti dalam syair di atas.
Tata cara perkawinan Buddhis
menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah adanya proses
penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai dan pada saat itulah, mempelai
mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan kain kuning ini
adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah dipersatukan.
Oleh karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun, hendaknya batin bersatu dan
bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga.
Sedangkan pemercikan air paritta
melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan kekotoran badan maupun
barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha Dhamma yang dimiliki
hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari pikiran-pikiran
negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga merupakan teman
hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar