Kamis, 29 Mei 2014

Vidio Upacara Kremasi Umat Buddha

 


 
Kremasi atau pengabuan adalah praktik penghilangan jenazah manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya. Biasanya hal ini dilakukan di sebuah krematorium/pancaka atau biasa juga di sebuah makam di Bali yang disebut setra atau pasetran. Praktik kremasi di Bali disebut ngaben.
Penguburan atau kremasi merupakan pilihan, meskipun kremasi akan lebih praktis, lebih murah, dan lebih disukai. Apa yang tertinggal dari tubuh setelah kematian hanyalah kerangka, sedangkan almarhum telah mengalami kelahiran yang baru. Dan pertanyaan yang muncul sekarang adalah berapa lama jenazah boleh disimpan? Kremasi atau penguburan dapat dilakukan dengan segera, pada keesokan harinya, atau bahkan pada hari yang sama. Akan tetapi, mungkin ada keluarga yang ingin menyimpan jenazah untuk beberapa hari karena berbagai alasan, seperti untuk menunggu kepulangan anggota keluarga yang jauh, atau untuk memberi kesempatan bagi sanak saudara dan sahabat untuk memberikan penghormatan terakhir. Jadi, keputusan untuk segera dikuburkan atau dikremasi, atau disimpan selama beberapa hari, tergantung pada keputusan keluarga atau permintaan almarhum jika dia ada menyatakan keinginannya sebelum meninggal.
            Sebelum dikremasi, apa yang seharusnya dilakukan terhadap abunya? Umat keturunan Chinese mempunyai kebiasaan meletakkan abu di dalam kendi di tempat penyimpanan abu jenazah (columbarium). Umat Buddha Theravada di Myanmar biasanya membiarkan abunya di krematorium untuk dibuang oleh pekerja, walapuna ada beberapa anggota keluarga yang memilih mengumpulkan abunya dan membuangnya di laut atau sungai.
Bagi umat Buddha Theravada di Malaysia, biasanya:
1.   Abu diletakkan di tempat penyimpanan abu jenazah;
2.   Membiarkan abu tersebut dibuang pekerja krematorium; atau
3.   Membuang abu tersebut ke laut atau sungai.
Semuanya merupakan pilihan. Jika seseorang memilih meletakkan abu tersebut di tempat penyimpanan abu jenazah dengan tujuan untuk mengenang, tidaklah perlu mempersembahkan atau menyelenggarakan berbagai upacara atau ritual atas kendi yang berisi abu tersebut. Hal ini karena almarhum telah dilahirkan kembali dan apa yang tertinggal hanyalah abu. Daripada menyelenggarakan upacara yang tidak bermanfaat, lebih baik ber-dana ke vihara dan melimpahkan jasa kebajikan kepada almarhum.
           Membiarkan abu di krematorium atau menaburnya di laut atau sungai juga boleh. Karena, seperti yang telah dikatakan, apa yang tertinggal hanyalah sisa jenazah, hanya unsur tanah, air, angin, dan api. Seseorang itu bukanlah tulang atau abu.
           Kesadarannya telah terpisah dan dilahirkan dalam bentuk baru. Maka itu, abunya boleh dibuang, tanpa adanya sikap tidak hormat. Sang Buddha mengajarkan kebijaksanaan dan ketidakmelekatan. Apa yang seharusnya kita lakukan adalah memperlakukan sesama dengan cinta kasih ketika kita masih hidup, dan setelah orang yang kita kasihi meninggal, kita tetap menjalankan hidup dengan penuh manfaat sehingga almarhum, seandainya dia bisa mengetahuinya, akan bangga kepada kita, bangga dengan kita yang hidup dengan baik sesuai dengan Ajaran Buddha.
Jika jenazah disimpan selama beberapa hari sebelum penguburan atau kremasi, kita boleh mengundang bhikkhu (satu atau lebih) untuk memberikan khotbah Dhamma, membaca paritta atau sutta, dan menganugerahi tuntunan Tisarana dan Panca Sila. Para sahabat yang beragama Buddha boleh melayat dan membaca paritta juga. Mereka juga boleh duduk bermeditasi bersama atau mengadakan diskusi Dhamma. Pembacaan sutta tertentu dari kitab suci juga boleh dilakukan. Kita bisa memilih kutipan yang tepat dan bermanfaat dari kitab suci untuk upacara ini. [Syair bahasa Pali untuk dibaca dan direnungkan ada pada Lampiran (i) dan (ii) dari buklet ini]. Anggota keluarga dan sahabat juga boleh mengucapkan beberapa patah kata, mengenang perbuatan baik dan sifat baik dari almarhum. Jadi, seperti yang terlihat, segalanya tergantung pada keluarga almarhum apakah mereka mau mengadakan pertemuan dan pelayanan yang bermanfaat dan bermakna. Kita boleh kreatif dan melakukan hal yang baru dalam melaksanakan pelayanan tersebut untuk menghormati almarhum.
Kremasi atau pengabuan adalah praktik penghilangan jenazah manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya. Biasanya hal ini dilakukan di sebuah krematorium/pancaka atau biasa juga di sebuah makam di Bali yang disebut setra atau pasetran. Praktik kremasi di Bali disebut ngaben.   
Pada hari pemakaman atau pengkremasian, bhikkhu boleh diundang untuk membacakan paritta dan menganugerahi tuntunan Panca Sila, setelah itu mereka juga boleh memimpin atau mengikuti mobil jenazah dengan mobil yang lain ke tempat pemakaman atau krematorium. Biasanya, ada kebiasaan mempersembahkan jubah kepada bhikkhu sebagai suatu bentuk kebajikan. Anggota keluarga boleh mempersembahkan jubah kepada bhikkhu, baik di rumah sebelum berangkat ke krematorium ataupun ketika tiba di krematorium. Jubah boleh diletakkan di atas peti mati agar bhikkhu mengambilnya sebagai jubah pamsukula (jubah yang telah dibuang) atau dapat dipersembahkan langsung kepada bhikkhu. Tidak ada aturan yang baku untuk prosedur di atas. Kita boleh menyesuaikan dan mengubahnya sesuai keperluan. Setelah persembahan jubah, bhikkhu akan memimpin anggota keluarga melaksanakan pelimpahan jasa kepada almarhum dan semua makhluk. Pada tempat pemakaman atau krematorium, bhikkhu akan membacakan paritta singkat sebelum peti mati diturunkan ke dalam tanah atau dimasukkan ke dalam tungku pembakaran.
           Biasanya, pembacaan paritta diakhiri dengan syair berikut:
Anicca vata sankhara
Uppadava yadhammino
Uppajjitva nirujjhanti
Tesam vupasamo sukho
Ketidakkekalan adalah hakekat dari segala sesuatu yang berkondisi.
Secara alami timbul dan lenyap.
Setelah timbul, akan hancur dan lenyap.
Penaklukan dan penghentian keadaan tersebut adalah kebahagiaan sejati.
[Jika tidak ada bhikkhu, anggota keluarga, sanak saudara, atau sahabat dekat boleh membacakan syair ini di krematorium. Sutta lain yang berhubungan, seperti Paticca Samuppada (lihat hlm. 55) atau Salla Sutta (Anak Panah; lihat hlm. 67) juga boleh dibacakan]
            Penaklukan dan penghentian di sini menunjukkan pencapaian kearahatan, tingkat kesucian tertinggi dalam agama Buddha. Seorang arahat, yang telah terbebas dari kemelekatan, tidak akan dilahirkan kembali. Jika ada kelahiran maka akan ada kematian. Jika tidak ada kelahiran, tidak akan ada kematian. Penghentian kelahiran berarti penghentian penderitaan. Inilah kebahagiaan sejati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar