Rabu, 11 Juni 2014

Resume kelompok 5 Matakuliah Hindu_Buddha di Indonesia



Resume : Hindu Buddha Di Indonesia
Kelompok 5
Nama : Feby Ayu Darmayanti
             Ahmad Samarkondy
             Ahmad Ainut Taufiq
Prodi : Perbandingan Agama /4. A

Pokok Pembahasan Matakuliah Hindu dan Buddha di Indonesia
1. Sejarah kedatangan dan perkembangan Agama Hindu dan Budha Di Indonesia
A. Kedatangan Awal dan pembawanya (analisis teori-teori)
Letak wilayah Indonesia yang strategis danmerupakan daerah penghasil rempah-rempah membuat indonesia sering di kunjungi oleh bangsa-bangsa lain untuk melakukan perdagangan, salahsatunya India. Bangsa India yang tadinya ke Indonesia hanya bermaksud untuk berdagang ternyata membawa misi untuk menyebarkan agama.
Teori-teori yang mendukung masuknya Hindu-Budha di Indonesia adalah:[1]
  • Teori Brahmana
Teori ini mengatakan bahwa kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh para kaum brahmana. Para brahmana mendapat undangan dari penguasa di Nusantara untuk mengajarkan agama kepada raja dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut adalah J.C. Van Leur. Ia perpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia di bawa oleh kaum brahmana, karena hanya kaum brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda.
  • Teori Ksatria
Teori ini mengatakan bahwa kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh para kaum Ksatria atau para prajurit. Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut adalah F.D.K. Bosch. Menurut Teori ksatria, jaman dulu di India sering terjadi perang. Kemudian para prajurit yang kalah banyak yang pergi meninggalkan India. Banyak diantara mereka pergi ke wilayah nusantara. Mereka inilah yang kemudian menyebarkan agama dan kebudayaan hindu di wilayah nusantara. .
  • Teori Waisya
Teori ini mengatakan bahwa agama Hindu yang masuk ke Indonesia di bawa oleh para pedagang India yang berdagang di Indonesia dan kemudian mengajarkan ajaran agama Hindu kependuduk setempat. Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut adalah N.J. Krom. Menurut NJ. Krom, proses terjadinya hubungan antara India dan Indonesia karena adanya hubungan perdagangan, sehingga orang-orang India yang datang ke Indonesia sebagian besar adalah para pedagang.
  • Teori Sudra
Teori ini mengatakan bahwa kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh para kaum sudra,dalam hal ini adalah kaum-kaum terbawah. Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut adalah Von Van Faber. Von Van Faber ini menyatakan bahwa penyebaran agama hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta sudra. Alasannya karena mereka dianggap sebagai orang-orang buangan dan hanya hidup sebagai budak sehingga mereka datang ke Indonesia dengan tujuan untuk mengubah kehidupannya.
  • Teori Arus Balik
Teori ini mengatakan bahwa agama Hindu yang masuk ke Indonesia dibawa oleh para pelajar (orang Indonesia) yang belajar atau mendalami agama Hindu di India kemudian setelah mereka menempuh pendidikan. Lalu mereka pulang dan mengajarkan (menyebarluaskan) ajaran Hindu kepada penduduk setempat. Teori ini di kemukakan oleh F.D.K Bosch. Ia mengemukakan peranan bangsa Indonesia sendiri dalam penyebaran dan pengembangan agama hindu. Penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh kaum terdidik.
B. Interaksi dengan kebudayaan Indonesia dan perkembangannya
Adanya proses interaksi antara budaya Hindu-Budha dengan budaya asli Indonesia dapat dilihat dari bukti-bukti sebagai berikut [2] :
Ditemukannya arca Buddha dari perunggu di Sempaga (Sulawesi Selatan). Arca Buddha ini, merupakan bukti tertua adanya pengaruh budaya India di Indonesia. Dilihat dari ciri-cirinya, arca tersebut diperkirakan berasal dari langgam Arca Amarawati, India Selatan (abad 2–5 SM).
• Arca sejenis juga ditemukan di Jember, Jawa Timur dan di Bukit Siguntang (Sumatra Selatan). Adapunn di Kutai, Kalimantan Timur ditemukan arca Buddha yang memperlihatkan arca seni Gandhara, India Utara.
• Penemuan prasasti-prasasti di Kutai dari Raja Mulawarman dan prasastiprasasti di Tarumanegara dari Raja Purnawarman menunjukkan adanya proses penghinduan. Huruf yang dipakai dalam prasasti-prasasti itu, ialah huruf Pallawa, dengan bahasa Sanskerta.
Semuanya ini menunjukkan adanya pengaruh budaya dari India di Indonesia. Setelah agama dan kebudayaan Hindu–Buddha masuk ke Indonsia terjadilah akulturasi. Perwujudan akulturasi antara kebudayaan Hindu–Buddha dengan kebudayaan Indonesia, antara lain sebagai berikut [3].
a. Seni Bangunan
Wujud akulturasi seni bangunan terlihat pada bangunan candi, salah satu contohnya adalah Candi Borobudur yang merupakan perpaduan kebudayaan Buddha yang berupa patung dan stupa dengan kebudayaan asli Indonesia, yakni punden berundak (budaya Megalithikum).
b. Seni Rupa dan Seni Ukir
Akulturasi di bidang seni rupa dan seni ukir terlihat pada Candi Borobudur yang berupa relief Sang Buddha Gautama (pengaruh dari Buddha) dan relief perahu bercadik, perahu besar tidak bercadik, perahu lesung, perahu kora-kora, dan rumah panggung yang di atapnya ada burung bertengger (asli Indonesia).
c. Aksara dan Seni Sastra
Pengaruh kebudayaan Hindu–Buddha salah satunya menyebabkan bangsa Indonesia memperoleh kepandaian membaca dan menulis aksara, yaitu huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Kepandaian baca-tulis akhirnya membawa perkembangan dalam seni sastra. Misalnya, cerita Mahabarata dan Ramayana berakulturasi menjadi wayang "purwa" karena wayang merupakan kebudayaan asli Indonesia.
d. Sistem Pemerintahan
Di bidang pemerintahan dengan masuknya pengaruh Hindu maka muncul pemerintahan yang dipegang oleh raja. Semula pemimpinnya adalah kepala suku yang dianggap mempunyai kelebihan dibandingkan warga lainnya(primus interpares).
e. Sistem Kalender
Sebelum kebudayaan Hindu-Budha masuk di Indonesia telah mengenal sistem kalender yang berpedoman pada pranatamangsa, misalnya mangsa Kasa (kesatu) dan mangsa Karo (kedua). Tapi setelah  Kebudayaan Hindu–Buddha masuk ke Indonesia dan membawa  perhitungan kalender, yang disebut kalender Saka dengan perhitungan 1 tahun Saka terdiri atas 365 hari, maka kemudian bangsa Indonesia menggunakan tahun Saka sebagai perhitungan kalender.
f. Sistem Kepercayaan
Nenek moyang bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan menyembah roh nenek moyang (animisme) juga dinamisme dan totemisme. Namun, setelah pengaruh interaksi kebudayaan Hindu–Buddha masuk terjadilah akulturasi system kepencayaan sehingga masyarakat Indonesia mulai ada yang menganut agama Hindu dan Buddha.
g. Filsafat
Akulturasi filsafat Hindu Indonesia menimbulkan filsafat Hindu Jawa. Misalnya, tempat yang makin tinggi makin suci sebab merupakan tempat bersemayam para dewa. Itulah sebabnya raja-raja Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) setelah meninggal dimakamkan di tempat-tempat yang tinggi, seperti Giri Bangun, Giri Layu (Surakarta), dan Imogiri (Yogyakarta).
C. Persamaan dan perbedaan dengan Hindu dan Budha India
Hindu- budha di India dan Indonesia
Persamaan : tujuan untuk menyelamatkan umat manusia dari rasa kegelapan/ mengantarkan umat manusia untuk dapat mencapai tujuan hidupnya, mengakui Kitab Weda (Hindu) dan Kitab Tripitaka (Budha).
Perbedaan : masyarakat di India mayoritas agama Hindu dan Budha karena lahir  di sana tapi di Indonesia hanya minoritas, tempat ibadah di india masih sebagai bangunan yang sakral sedang di Indonesia sudah terakulturasi dengan budaya asli.
D. Pengertian Hindu Dharma dan Budha Dharma
Hindu Dharma adalah sejenis agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh kebanyakan orang Bali di Indonesia. Agama Hindu di Bali merupakan sinkretisme unsur-unsur Hindu aliran Siwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan lokal (local genius) orang Bali [4]
Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidakpuasan [5].
2. Ajaran Hindu Dharma tentang Ketuhanan
A. Konsep tuhan/dewa
Dalam agama Hindu ada banyak kepribadian, atau perwujudan, yang dipuja sebagai Dewa atau Murti. Kepercayaan Hindu menyatakan bahwa mereka adalah aspek dari Brahman yang mulia; Awatara dari makhluk tertinggi (Bhagawan); atau dianggap makhluk yang berkuasa yang dikenal sebagai dewa. Pemujaan terhadap setiap Dewa bervariasi di antara tradisi dan filsafat Hindu yang berbeda. Seringkali makhluk tersebut digambarkan berwujud manusia, atau setengah manusia, dengan ikonografi yang unik dan lengkap dalam setiap kasus.
B. Trimurti
Trimurti kepercayaan umat Hindu yang terdiri dari: Dewa Brahma yaitu dewa pencipta segala sesuatu. Dewa Wishnu yaitu dewa pemelihara alam semesta yang telah Brahma ciptakan. Dewa Shiwa yaitu dewa penghancur.dihancurkannya yang lama agar dimunculkannya sesuatu yang baru lagi oleh Brahma [6]
C. Sembahyang
. Sembahyang (Trisandya dan Panca Sembah) adalah perwujudan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dengan tulus ikhlas. Sembahyang sering juga disebut dengan muspa. Muspa berasal dari kata puspa yang artinya bunga. Jadi muspa itu dapat diartikan sebagai penghormatan atau pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan mencakupkan kedua telapak tangan pada ujung kedua jari tengah menjepit bunga.
Maksud dan tujuan sembahyang ialah [7]:
1.             Mohon kesucian jiwatma oleh sinar suci Sang Hyang Widdhi Waca untuk melenyapkan awidya (kegelapan bathin), melenyapkan adharma (kejahatan), serta peleburan dosa.
2.             Untuk memuliakan, memuja keagungan Sang Hyang Widhi Waca serta prabhawanya yang merupakan sumber hidup.
3.             Sebagai sesuatu usaha untuk membalas hutang kepada Dewa-Dewa (Dewa Rnam) sebagai prabhawa Sang Hyang Widdhi Waca dan mohon maaf lahir bathin atas segala kesalahan dan dosa yang dibuat.
3. Ajaran Budha Dharma tentang Ketuhanan
A. Perkembangan konsep Ketuhanan
Di dalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhan atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai [8].
Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
B. Konsep Adi Budha
Adi buddha merupakan buddha primordial (buddha tanpa awal dan akhir), yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu sendok. [9]
C. Bhakti puja [10]
 Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari. Dalam melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri. Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
4. Ajaran Hindu Dharma tentang Manusia dan Alam
A. Penciptaan manusia
Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether, hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia.
Cita, Bhudi dan Ahangkara membentuk watak budi seseorang . dasendria membentuk indrianya. Pancatanmatra dan pancamahabhuta membentuk badan manusia/mahluk. Jika pancamahabhuta di alam besar (Macrocosmos) antara lain membentu Triloka, yakni: 1). Bhur-loka/alam dunia bumi, 2). Bhuwah-loka/alam dunia angkasa udara dan 3). Swah-loka/ alam sorga, maka di alam kecil (microcosmos) atau tubuh manusia/mahluk  terbentuklah tiga lapis badan (Trisarira), yakni: 1) Badan kasar (Sthula Sarira), 2) Badan Halus (Sukma-Sarira), dan 3) Badan penyebab (Karana Sarira). Kedua alam tersebut yakni alam-semesta (Bhuwana agung/Macrocosmos) dan alam badan mahluk (Bhuwana Alit/Microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan yang bersamaan.
a. Segala yang kental, padat dan keras pada alam maupun badan mahluk disebabkan oleh zat padat (Prthiwi).
b. Segala sesuatu yang besifat cair di alam dunia maupun di alam mahluk disebabkan oleh unsur zat cair (Apah).
c. Segala sesuatu yang bercahaya panas, baik di Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit disebabkan oleh unsur cahaya panas/api (Teja).
d. Yang bersifat angin, hawa dan gas pada alam dunia serta nafas pada badan mahluk/manusia disebabkan oleh unsur gas (Bayu).
e. Adapun unsur kekosongan/kehampaan (Vacuum) yang ada pada alam dunia dan badan mahluk/manusia disebabakan oleh unsur ether (Akasa).
Menurut ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU, atau selengkapnya SWAYABHU-MANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang menjadikan diri sendiri. Suku kata “swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu” berarti “mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme, semua manusia adalah keturunan Manu.
Jika di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar membentuk triloka (Bhur-loka, Bhuwah-loka, dan Swah-loka) maka di dalam manusia sebagai mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar, tubuh halus, dan tubuh penyebab. Itulah sebabnya kedua alam (makro dan mikrokosmos) memiliki sifat-sifat yang sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam manusia masih terdapat Atman, yaitu percikan kecil atau sinar Parama Atman, sinar sang Hyang Widi. Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia. Fungsi Atman di dalam badan manusia saperti kusir terhadap kereta. Sebagai sinar ilahi atau percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat sang Hyang Widi, sebagai misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin, tak terbasahkan oleh air, abadi, ada di mana-mana, tak dilahirkan, tak dipikirkan, dsb [11]
B. Penciptaan alam
Dalam Matsya Purana 2.25-30, penciptaan diceritakan terjadi setelah Mahapralaya, leburnya alam semesta, kegelapan di mana-mana. Semuanya dalam keadaan tidur. Tidak ada materi apapun, baik yang bergerak maupun tak bergerak. Lalu Svayambhu, self being, menjelma, yang merupakan bentuk di luar indra. Ia menciptakan air/cairan pertama kali, dan menciptakan bibit penciptaan di dalamnya. Bibit itu tumbuh menjadi telur emas. Lalu Svayambhu memasuki telur itu, dan disebut Visnu karena memasukinya.
Saat Penciptaan Semesta, Purusa/Prajapati/Brahman menciptakan dua kekuatan yang disebut Purusa yaitu kekuatan hidup (batin/nama) dan Prakerti (pradana/rupa) yaitu kekuatan kebendaan. Kemudian timbul “cita” yaitu alam pikiran yang dipengaruhi oleh Tri Guna yaitu Satwam (sifat kebenaran/Dharma), Rajah (sifat kenafsuan/dinamis) dan Tamah (Adharma/kebodohan/apatis). Kemudian timbul Budi (naluri pengenal), setelah itu timbul Manah (akal dan perasaan), selanjutnya timbul Ahangkara (rasa keakuan). Setelah ini timbul Dasa indria (sepuluh indria/gerak keinginan) yang terbagi dalam kelompok; Panca Budi Indria yaitu lima gerak perbuatan/rangsangan: Caksu indria (penglihatan), Ghrana indria (penciuman), Srota indria (pendengaran), Jihwa indria (pengecap), Twak indria (sentuhan atau rabaan). Panca Karma Indria yaitu lima gerak perbuatan/penggerak: Wak indria (mulut), Pani (tangan), Pada indria (kaki), Payu indria (pelepasan), Upastha indria (kelamin).
Setelah itu timbullah lima jenis benih benda alam (Panca Tanmatra): Sabda Tanmatra (suara), Sparsa Tanmatra (rasa sentuhan), Rupa Tanmatra (penglihatan), Rasa Tanmatra (rasa), Gandha Tanmatra (penciuman). Dari Panca Tanmatra lahirlah lima unsur-unsur materi yang dinamakan Panca Maha Bhuta, yaitu Akasa (ether), Bayu (angin), Teja (sinar), Apah (zat cair) dan Pratiwi (zat padat).[12]
C. Hubungan manusia dan alam
Hal ini mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri dengan alam, karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi yang saling menguntungkan dan saling menjaga satu sama lain. Hubungannya dengan alam, manusia harus berbuat sesuai dengan ajaran dharma di dalam Hindu agar alam ini tetap lestari.
5. Ajaran Budha Dharma tentang Manusia dan Alam
A. Penciptaan manusia
Manusia, menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu: Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk), Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan), Sannakhandha (kegemaran akan penyerapan yang menyangkut itensitas indra dalam menanggapi rangsangan), Shankharakhandha (kegemaran bentuk-bentuk pikiran), Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran). [13]
Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau tetap. Anatma dapat diterangkan dalam 3 tingkatan, yaitu: Tidak terlalu mementingkan diri, kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja, bila tingkatan pengetahiuan tinggi telah dicapai dan telah mempraktekkan akan pengetahuan dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa aku.
 Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu [14]:
1.     Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
2.     Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
3.     Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
        Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
         Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana.            Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.
B. Penciptaan alam
Menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal.[15] Oleh karena itu, ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah. Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu. Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini.
Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”. Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.
Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
1.     Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
2.     Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
3.     Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
4.     Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
 Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi, kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Dalam sattaloka ada 31 alam kehidupan yang dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kamaloka, yaitu alam kehidupan yang masih senang dengan nafsu birahi dan terikat oleh panca indranya. Meliputi 11 alam yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Apaya-Bumi, meliputi: Alam neraka, Alam binatang, Alam syetan, Alam raksasa asuro.
b. Kamasugatu-Bhumi, meliputi: Alam para Dewata yang menikmati ciptaan-ciptaan lain, Alam dewata yang menikmati ciptaannya sendiri, Alam dewata yang menikmati kesenangan, Alam dewata Yama, Alam 33 dewata, Alam tempat Maharaja, Jagat manusia.
2. Ruppaloka, alam bentuk atau alam tempat tinggalnya Rupa-Brahma. Alam ini bisa dicapai dengan mengheningkan cipta dalam samadi. Terdiri 16 alam yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
a.)   Pathama Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang pertama
- Brahma Parisajja: alam pengikut Brahma, Brahma Purohita: alam para mentrinya Brahma, Maha Brahma: alam Brahma yang besar.
b.)   Dutiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang kedua
- Brahma Parittabha: alam para Brahma yang kurang bercahaya, Brahma Appamanabha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya dan Brahma Abbhassana: alam para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
c.)   Tatiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang ketiga:
- Brahma Parittasubha: alam para Brahma yang kurang auranya, Brahma Appamanasubha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya, Brahma Subhakinha: alam para Brahma yang auranya penuh dan tetap,
d.) Catutha Jhana Bhumi,
Seprti sudah dijelaskan diatas bahwa menurut kepercayaan agama Budha, alam tersebut di atas bukan diciptakan  Tuhan, dan Tuhan tidak mengaturnya. Segala sesuatu di alam ini dikembalikan dalam rangkaian sebab akibat, berdasarkan aturan yang berlaku di mana-mana (hukum). Hukum yang tetap, yang pasti, disebut Dharma yang mengatur tata tertib alam semesta, tidak tercipta, kekal dan immanent.
C. Hubungan manusia dan alam
     Hal ini mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri dengan alam, karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi yang saling menguntungkan dan saling menjaga satu sama lain.
6. Ajaran Hindhu Dharma tentang Etika (Susila)
A. Filsafat Tat Twam Asi
Tat= itu atau ia, Twam= kamu, Asi= adalah. Jadi Tat Twam Asi adalah dikaulah itu semua makhluk adalah engkau.[16] Ungkapan ini mengandung pengakuan atas tunggalnya Jiwatma semua makhluk dengan Paramatma yaitu Hyang Widi Waca. Tat Twan Asi inilah menjadi penyangga ajaran Susila Hindu Dharma.
B. Pengertian Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya
Cubha karma adalah perbuatan yang baik menyebabkan manusia itu selalu ada di jalan dharma.[17] Hal-hal yang dapat digolongkan ke dalam Subha Karma adalah Tri Kaya Parisudha. Catur Paramita, Panca Yama Brata. Panca Nyama Brata, Sad Paramitha, Catur Aiswarya, Asta Sidhi,Nawa Sanga, Dasa Yama Bratha, Dasa Nyama Bratha.
C. Pengertian Achubakarma (perbuatan tidak baik) dan jenis-jenisnya
Achubakarma berarti karma atau perbuatan yang tidak baik. [18] Misalnya : menghina, memaki-maki, menipu, tidak adil, menyakiti, dll.
7. Ajaran Budha Dharma tentang Etika (Sila)
A. Pengertian sila
Síla adalah keadaan yang diawali munculnya kehendak dalam batin seseorang yang menghindari pembunuhan mahkluk hidup atau dalam batin seseorang yang menjalani kewajiban (melatih pengendalian diri).[19]
B. Macam-macam Sila [20]
1. Hina Sila atau Cula Sila
adalah sila yang jumlahnya kecil/sedikit, terdiri dari Pancasila dan Atthasila. Pancasila terdiri dari lima latihan kemoralan yang berisi tentang : Melatih diri untuk tidak membunuh, melatih diri untuk tidak mencuri, melatih diri untuk tidak berbuat asusila, melatih diri untuk tidak berkata kasar atau berbohong dan melatih diri untuk tidak minum-minuman keras atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
tidak makan setelah jam 12 siang, melatih diri untuk tidak memdengarkan musik, TV, tidak menggunakan wangi-wangian, tidak berdandan, dll, melatih diri untuk tidak menggunakan tempat duduk/tidur yang lebih tinggi dan mewah.
2. Majjhima Sila
adalah sila menengah (Dasasila). Sila ini terdiri dari 10 latihan yang wajib dilaksanakan oleh Samanera dan Samaneri. Seorang Samanera dan Samaneri hidup sebagai Pabbajita. Pabbajita artinya hidup meninggalkan keluarga dengan cara menjadi samana. Samana artinya pertapa yang hidupnya mengembara.
3. Panita Sila atau Maha Sila
adalah sila yang jumlah latihannya besar/tinggi. Dalam hal ini yang dimaksud adalah Patimokkha sila (peraturan yang dilaksanakan oleh bhikkhu dan bhikkhuni). Bhikkhu melaksanakan sila berjumlah 227 latihan, sedangkan bhikkhuni melaksanakan 311 latihan. Bhikkhu dan bhikkhuni juga disebut Samana/Pertapa.
C. Catur paramitha dan catur mara
Catur paramitha adalah empat sifat yang harus dimiliki, dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Catur paramitha terdiri dari:  Metta (cinta kasih universal yang menjadi akar dari perbuatan baik). Karuna (kasih sayang universal karena melihat suatu kesengsaraan, yang menjadi akar perbuatan baik),  Mudhita (perasaan bahagia (simpati)), Upekha: ialah keseimbangan bhatin).[21]
Catur Mara merupakan sifat syetan yang selalu bertolak belakang denga sifat paramita. Sifat ini dimiliki oleh manusia yang keduanya sangat bertentangan. Yang apabila mara menguasai hidup kita akan penuh dengan derita (dukha).  Sifat mara ini dibagi menjadi empat sifat diantaranya: Dosa, Lobha (serakah), Issa (iri hati), Moha (kegelisahaan batin).[22]
D. Hubungan sila dengan catur paramitha
Antara Sila dan catur paramitha, keduanya sangat berhubungan Síla adalah keadaan yang diawali munculnya kehendak dalam batin seseorang yang menghindari pembunuhan mahkluk hidup atau dalam batin seseorang yang menjalani kewajiban (melatih pengendalian diri). Sedangkan catur paramitha adalah sifat kebaikan yang harus dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sila dan catur paramitha merupakan tujuan hidup yang harus dicapai yaitu Moksa.
8. Ajaran Hindu tentang Catur Marga
a. Pengertian dan Tujuan Catur Marga
    Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur berarti empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha. Jadi catur marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
b. Macam-macam Catur Marga (Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, Raja Marga)
a. Bhakti Marga
    Kata Bhakti marga sebenarnya adalah perpaduan antara kata Bhakti Marga dan Bhakti Yoga. Istilah Bhakti Marga Yoga dimaksudkan untuk lebih menekankan bahwa Bhakti adalah jalan dan sekaligus juga sarana mempersatukan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
    Dalam meningkatkan kualitas bhakti kita kepada sang Hyang Widi ada beberapa jenis bentuk bhakti yang disebut Bhavabhakti, sebagai berikut:
 a. Santabhava, yaitu sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak  terhadap ibu dan bapaknya.
b.   Sakhyabava, yaitu bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widi, manifestasiNya, Istadevata atau Avatara- Nya sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dari pertolongan pada saat yang diperlukan.
c.     Dasyabhava, yaitu bhakti atau pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti sikap seorang hamba kepada majikannya.
d.     Vatsalyabhava, yaitu sikap bhakti seorang penyembah memandang Tuhan Yang Maha Esa seperti anaknya sendiri
e.    Kantabhava, yaitu sikap bhakti seorang istri terhadap suami tercinta.
f.    Maduryabhava, yaitu bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari seorang bhakta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara lahiriah bentuk- bentuk di Indonesia sama halnya dengan di India, umat mewujudkannya melalui pembangunan berbagai Pura ( mandir), mempersembahkan berbagai sesaji (naivedya), mempersembahkan kidung (bhajan), gamelan, tari- tarian, dan sebagainya.
b. Karma Marga
    Karma marga berarti usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui usaha atau kerja yang tulus ikhlas, demikian pula karma Yoga mempunyai makna yang sama sebagai usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karma Marga Yoga menekankan kerja sebagai bentuk pengabdian dan bentuk pengabdian dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Jnana Marga
    Jnana Marga Yoga adalah jalan dan usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa untuk mencapai kebahagiaan sejati melalui pengetahuan. Jnana menuntun manusia untuk bekerja tidak terikat oleh hawa nafsu, tanpa motif kepentingan pribadi, rela melepaskan hak milik, sadar bahwa badan bukan atma yang bersifat abadi.
d. Raja Marga
    Raja Marga Yoga berarti jalan atau usaha tertinggi untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui jalan Yoga yang tertinggi. Bila dua jalan sebelumnya, yakni Bhakti Marga Yoga dan Karma Marga Yoga disebut Prvrtti Marga, yakni jalan yang umum dan mudah dilaksanakan oleh umat awam pada umumnya, maka dua jalan yang lain, yakni Jnana Marga Yoga dan Raja Marga Yoga disebut Nivrtti Marga, yang artinya jalan yang tidak umum atau bertentangan. Raja Yoga Marga memerlukan pengendalian diri, disiplin diri, pengekangan dan penyangkalan terhadap hal keduniawian.
9. Ajaran Hindu tentang Panca Yadnya
a. Pengertian dan Tujuan Panca Yadnya
     Yadnya artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan dukungan sikap dan mental yang suci juga. Tujuan Yadnya adalah untuk membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika menciptakan alam semesta beserta isinya.
b. Macam-macam Panca Yadnya (Dewa Yadnya, manusa Yadnya, Bhuta Ydnya, Pitara Yadnya, Rsi Yadnya)
a. Dewa Yadnya
    Upacara dewa yadnya adalah upacara pemujaan dan persembahan sebagai wujud bakti kehadapan Hyang Widhi dan segala manifestasi-Nya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk upakara. Upacara ini bertujuan untuk pengucapan terima kasih kepada Hyang Widhi atas kasih, rahmat dan karunia-Nya sehingga kehidupan dapat berjalan damai.
Contoh dari upacara dewa yadnya yang dilakukan setiap hari adalah puja tri sandya dan yadnya cesa. Sedangkan upacara dewa yadnya yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti: Galungan, Kuningan, Saraswati, Ciwaratri, Purnama dan Tilem, dan piodalan lainnya.
b. Manusa Yadnya
    Manusa yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir bathin manusia mulai dari sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai pada akhir hidup manusia itu.
Jenis-jenis Upacara Yadnya seperti upacara kelahiran bayi. Upacara potong gigi, upacara nyambutin, upacara meningkat dewasa, upacara perkawinan, dll
c. Bhuta Yadnya
   Bhuta Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu ketentraman hidup manusia. Bagi masyarakat  Hindu bhuta kala ini diyakini sebagai kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi dengan Bhuta Yadnya ini maka kekuatan-kekuatan  tersebut akan dapat menolong dan melindungi kehidupan manusia.

    Adapun tujuan Upacara Bhuta Yadnya adalah disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin, juga untuk menyucikan dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta kala tersebut sehingga dapat berfungsi dan berguna bagi kehidupan manusia. Jenis-jenis upacara Bhuta Yadnya seperti upacara segehan, upacara cawu dan upacara tawur
d. Pitara Yadnya
    Pitra yadnya adalah suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus ikhlas dan suci yang di tujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia.
Jenis-jenis upacara Pitara Yadnya seperti upacara penguburan mayat dan ngaben
e. Rsi Yadnya
    Rsi Yadnya adalah sedekah atau punia atau juga persembahan kepada para pendeta atau para pemimpin upacara keagamaan. Sedekah atau persembahan ini dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada saat Beliau menyelesaikan suatu upacara, atau memberikan diksa kepada sisyanya. Sedekah atau punia yang dipsersembahkan kepada para pendeta disebut dengan daksina. Adapun tujuannya adalah sebagai tanda terima kasih kepada para pendeta karena beliau telah menyelesaikan upacara yadnya.
10. Ajaran Buddha tentang Bhavana
a. Pengertian Bhavana
    Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek. Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yang dimaksud adalah “Samadhi yang benar”.

b. Macam-macam Bhavana (Metta Bhavana, Samatha Bhavana, Vivassana Bhavana)
a. Metta Bhavana
    Metta adalah cinta kasih yang universal, yang tidak membeda-bedakan, yang tidak memandang dari segi manapun dan yang ikhlas, tumbuh dari dasar lubuk hati. Inti dari metta adalah tidak membeda-bedakan.
    Meditasi ini adalah meditasi cinta-kasih. Meditasi dilakukan dengan menggunakan teknik visualisasi yang sederhana dengan menggunakan pikiran kita yang biasa kita gunakan untuk berpikir. Sebagai contoh, jika saya menyarankan untuk membayangkan sebuah bunga, kita akan dapat melakukannya dengan mudah. Tidak peduli apakah bunga itu adalah bunga mawar atau bunga teratai, atau apapun warnanya itu, atau bahkan bagaimanapun jelasnya objek itu tergambar di dalam batin anda –- sesuatu yang berproses dengan lancar itu sudah cukup.
b. Samatha Bhavana
    Samatha Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak berkeliaran kesana kemari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan.Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat diendapkan, seperti batu besar yang menekan rumput hingga tertidur di tanah. Dengan demikian, Samatha Bhavana hanya dapat mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai berbagai kekuatan batin.
c. Vivassana Bhavana
   Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran-kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang melakukan Vipassana Bhavana dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaian Nibbana.

11. Upacara kelahiran, Perkawinan dan  kematian dalam agama Hindu
a. Makna kelahiran dan upacaranya
    Makna kelahiran bayi adalah sebagai ungkapan rasa gembira dan shyukur atas lahirnya si bayi ke dunia.
    Upacara dalam kelahiran :
- Upacara bayi dalam kandungan (Magedong-gedong). Tujuannya untuk pembersihan, penyucian jasmani rohani serta keselamatan si bayi supaya menjadi putra-putri yang baik.
- Upacara bayi lahir rasa bahagia bersyukur kepada Tuhan karna dikaruniai bayi yang baru lahir.
- Upacara bayi putus pusar (kepus puser). Tujuannya untuk pembersihan sanggar kemulan, sumur, dapur bak dll, supaya bayi mendapat keselamatan dan perlindungan dari Sang Hyang Widi.
- Upacara Dua belas hari setelah kelahiran bayi.
- Upacara bayi berumur 42 hari (macolongan). Pembersihan terhadap si bayi beserta ibunya dan membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh nyaman bajang.
- Upacara bayi berumur 105 hari. Untuk membersihkan lahir batin si bayi dan sang Catur Sanak beserta segala macam manifestasinya.
- Bayi berumur 210 hari. Untuk memohon kadirgayuhan, keselamatan, ke hadap Sang Hyang Widdhi Ibu pertiwi supaya mengasuh, menuntun dan membebaskan dari aral rintangan
- Upacara Tumbuh gigi. Agar gigi anak tmbuh dengan baik.
- Upacara Tanggal Gihi. Untuk penyucian lahir batin terutama jiwatma dan pikirannya
- Upacara meningat dewasa. Untuk memohonkepda Sang Hyang Smara Ratih agar tidak terjerumus kepada perbuatan yang asusiala.
- Upacara potong gigi. Untuk mengurangi maupun menghilangkan Sadripu (enam jenis musuh) batin manusia.
b. Makna Perkawinan dan upacaranya
    Perkawinan ialah ikatan lahir batin antar seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia.
   Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian baik kehadapan Sang Hyang Widdhi Waca (Tuhan) maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan mengikatkan diri sebagai suami-istri, sehingga hubungan dapat dibenarkan dan segala akibat perbuatan menjadi tanggung jawab mereka bersama.
    Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
    Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.

Sarana
     1. Segehan cacahan warna lima.
     2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
     3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
     4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
     5. Pejati.
     6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
     8. Bakul.
     9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.

Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.

Tata cara
1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.

Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.

Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.

c. Makna kematian dan upacaranya ( ngaben)
   Makna ngaben adalah untuk balas budi, menghormati jasa-jasa leluhur yang telah menuntun kepada dharma dan ilmu pengetahuan, memohon kepada Sang Hyang Widi Waca agar Jiwatma yang meninggal dunia dibersihkan dari segala dosa.
   Pelaksanaannya adalah puja praline, mayat dimandikan pabresihan, menggunakan pakaian, pangreka dan pangringkes,setelahnitu disuguhkan: terpana terdiri dari bubur pirate dan padang lepas yang dimaksudkan untuk dipakai bekal dalam perjalanan kea lam lepas, dan kemudian mayat dibawa ke kuburan dengan berputar purwa daksina pascima utara (putaran tangan jam) sebanyak 3 kali setiap persimpangan empat atau tempat suci dan di kuburkan sendiri sebagai tanda penghormatan terakhir. Dikuburan atau tempat pembakaran, jenazah yang terletak dalam peti, diatur tempatnya dan diupacarai sebelum dibakar.
12. Upacara kelahiran, Perkawinan  dan kematian dalam agama Budha
a. Makna kelahiran dan upacaranya
Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.
Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang diberikan. 
Lahir Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
               Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
                Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam. 
Menurut "Upacara Ritual Buddhis dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan dengan kehidupan monastik dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap sebagai urusan sekuler untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru, ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan bayi-ritual.

b. Makna perkawinan dan upacaranya
    Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
    Persiapan upacara :
A. calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha. Mengisi formulir yang terlampir seperti : KTP,AKTA, pas foto dll.
Pelaksanaan upacaranya :
- tempat upacara: vihara atau rumah salah satu mempelai.
- perlengkapan atau peralatan upacara : Altar dimana terdapat Buddharupang. lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga), tempat dupa, dupa wangi 9 batang, gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan), dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai, cincin kawin, kain kuning berukuran 90 X 125 cm2, pita kuning sepanjang 100 cm, tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir), Surat ikrar perkawinan, Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
 Pelaksanaan upacara: pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara, kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar, pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan, penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai, persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai, pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara, pernyataan ikrar perkawinan, pemasangan cincin kawin, pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning, pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita, pembukaan pita kuning dan kain kuning, wejangan oleh pandita, penandatanganan Surat lkrar Perkawinan, namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
c. Makna kematian dan upacaranya
   Definisi kematian menurut agama Budha tidak hanya sekedar ditentukan oleh unsur-unsur jasmaniah, entah itu paru-paru, jantung ataupun otak. Ketakberfungsian ketiga organ itu hanya merupakan gejala ‘akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu sendiri.
   Upacara Kematian
   Pemimpin kebhaktian memberi tanda kebhaktian dimulai, dengan membunyikan gong atau lonceng lalu pemimpin kebaktian menyalakan lilin, dupa, dan meletakkan dupa tersebut ditempatnya. Sementara hadirin berdiri di sisi depan jenazah dan bersikap anjali. Setelah dupa diletakkan ditempatnya, hadirin menghormat dengan menundukkan kepala Kemudian pemimpin Kebhaktian membacakan:NamakaraGatha, Pubbabhaganamakara, Pamsukula Gatha, Maha Jaya Mangala Gatha
   Pelaksanaan pemandian mayat :Jenazah setelah disembahyangkan kemudian diusung ke tempat pemandian yang telahdisiapkan.Jenazah dimandikan dengan air bersih terlebih dahulu, kemudian air bunga, lalu dibilas dengan air yang sudah dicampur dengan minyak wangi.Jenazah dikramasi rambutnya dengan sampo, kemudian disabun seluruh badannya dan giginya disikat dan kukunya dibersihkan, setelah itu dibilas lagi dengan air bersih. Sehabis itu jenazah dilap dengan handuk.
   Pemakaina Pakaian: Jenazah laki-laki, pakian jenazah laki-laki, baju lengan panjang, celana panjang, dan yang paling disenangi oleh almarhum sewaktu masih hidup, rambut disisir rapi, bila perlu diberi minyak rambut, lalu kedua tangannya dikenakan sarung tangan, dan juga kedua kakinya diberi kaos kaki berwarna putih. Jenazah Perempuan., pakaian jenazah perempuan adalah pakaian nasional, misalnya kebaya dan memakai kain (pakaian adat daerah) dan khuusnya pakaian yang disenangi olehnya sewaktu dia hidup. Mukanya diberi bedak, rambutnya disisir rapi, bila rambutnya panjang bisa disanggul. Lalu kedua tangannya diberi sarung tangan, dan kedua kakinya diberi kaos kaki berwarna putih. Jenazah Khusus Pandita. Pakaian khusus Pandita adalah memakai jubah berwarna kuning dan tangannya diberi sarung tangan, dan kedua kakinya diberi kaos kaki berwarna putih
   Sikap tangan : Sikap tangan diletakkan di depan dada, tangan kanan di atas tangan kiri, dan sambil memegang tiga tangkai bunga, satu pasang lilin berwarna merah, tiga batang dupa wangi, yang sudah diikat dengan benang merah. Sikap kedua kakinya biasa, dengan telapak kaki tetap ke depan.
   Memasukkan jenazah kedalam peti : Peti jenazah yang sudah disiapkan, kemudian keempat sisi bagian dalam dilapisi kain putih, juga bagian bawah dan tutup peti tersebut. Kemudian dikeempat sisi tersebut dipasang atau di hiasi dengan rangkaian-rangkaian bunga, setelah itu jenazah dimasukkan ke dalam peti dan kepala bagian bawah diganjal dengan bantal kecil, begitu pula samping kanan dan samping kiri. Setelah itu dengan peti masih dalam keadaan terbuka dibacakan paritta-paritta. Adapun posisi persembahyangan adalah sebagai berikut: Sebelum acara pembacaan paritta-paritta suci, pemimpin kebhaktian memberi tanda bahwa kebaktian akan segera dimulai, dengan membunyikan gong atau lonceng. Pemimpin kebaktian menyalakan lilin, dupa, dan meletakkan dupa tersebut ditempatnya, dan hadirin berdiri menghadap ke peti jenazah dengan sikap anjali, dan setelah dupa diletakkan kemudian para hadirin menghormat dengan menundukkan kepala.
13. Hari-hari suci dan tempat-tempat suci agama Hindu
a. Hari-hari suci (Nyepi, Ciwaratri, Saraswati, Galungan, Kuningan, Prurnama, Tilem)
- Hari Raya Nyepi

Hari raya nyepi adalah pemujaan kepada sang Hyang Widdhi dalam rangka menyambut Tahun Baru Caka. Jatuhnya pada Pananggal pisan (satu), Cacih ke x (Daca). Hari Raya Nyepi mempunyai makna sebagai : Bhuta Yadnya, pembersihan Buana Agung dan Buana Alit (alam semesta termasuk umat manusia) dan merupakan pergantian tahun baru Caka. Pelaksanaannya: 1. Bhuta Yadnya (tahun kasanga), 2. melaksanakan tapa brata, yoga Samadhi meliputi mati geni)= tidak menyalakan api), mati karya (tidak bekerja berat), mati lalungayan (tidak bepergian) mati lalanguan (tidak menabuh bunyi-bunyian),3. Dharma Cnti (silaturahmi). Upakaranya: 1. Daksina, Canang Sari, Canang Raka 2. Caru Nasi Panca Warna.Mantramnya : Astra Mantra, Om Dhurga bucari, Kala Bhuta bucari ya namah swaha.
- Hari Raya Ciwaratri

Hari Raya Ciwaratri adalah hari raya malam renungan suci/malam , malam Ciwa, malam peleburan (penebusan) dosa, pemujaan terhadap Ciwa Jatuh pada prawani ning tilem cacih VII (Kapitu). Pelaksanaannya : 1. Persembahyangan Ciwa Puja dengan Upakaranya. 2. Membaca ayat-ayat suci Weda semalam suntuk. 3. Melaksanakan Monabrata, Upawasa (puasa), Jagra (melek). Upakaranya: 1. Daksina, Canang Sari, Canang Raka. 2. Banten “Ciwa-Lingga” dalam bentuk “ Air Suci berisi kembang teratai dan beras kuning. Mantamnya: Astra Mantra, Ciwa Astawa, Om Ciwa Lingga byo namah swaha.
- Hari Raya Saraswati

Hari Raya Saraswati adalah hari raya untuk memuja Sang Hyang Widdhi (saraswati) sebagai Cakti Brahma yang telah menurunkan ilmu pengetahuan suci weda. Jatuhnya pada hari Caniscara (sabtu) Umanis Watugunung. Pelaksanaannya Saraswati dengan perlengkapan upakara (Dupa, Air, kembang, harum-haruman, banten/ sesayut Saraswati). Mengadakan malam castra (pembacaan kitab suci) dan renungan suci (samadhi). Mantramnya: Astra Mantra, Saraswati Sthawa: Om Saraswati namostu bhyam,..dst
- Hari Raya Galungan

Hari Raya Galungan adalah hari raya untuk  memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Jatuhnya pada Buda (rabu) Kliwon-Dungulan. Hari raya galung juga merupakan pernyataan terimakasih lahir bathin kepada sang Hyang Widdhi Waca yang telah memberikan kesejahteraan serta kebahagiaan ucapan terima kasih itu dinyatakan dengan pemasangan penjor (bamboo yang dihias). Pelaksanaanya : persembayangan Galungan, melaksanakan Samadana dan ksamadana (meningkatkan kesadaran berdana punia dan maaf memaafkan). Upakaranya : Daksina, Canangsari, Canang Raka, Tumpeng, tetebus sasarik.
- Hari Raya Kuningan 
  
  Hari Raya Kuningan adalah hari raya pemujaan serta penghormatan kepada Tuhan, Para Dewa dan Pitra (leluhur), dan pahlawan Dharma. Jatuhnya pada hari Caniscara (sabtu) Kliwon Kuningan. Pelaksanaannya: 1. Persembahyangan Kuningan dengan upakaranya, 2. Ziarah Kepemakaman. 3. Dharma Yatra ke temmpat-tempat suci.
- Hari Raya Tilem


Upacara Tilem bermakna sebagai upacara pemujaan terhadap Dewa Surya, pada saat upacara tilem ini dilaksanakan sembahyang dan pemujaan memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Upacara Tilem dilakukan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa), 30 hari sekali.
Saat Tilem ini, diharapkan semua umat Hindu melakukan pemujaan dan bersembahyangan dengan rangkaian berupa upacara yadnya. Umat Hindu meyakini pada saat hari Tilem ini mempunyai keutamaan dalam menyucikan diri dan berfungsi sebagai pelebur segala kotoran/mala yang terdapat  dalam diri manusia, juga karena  bertepatan dengan Sanghyang Suryabeyoga/semedhi memohonkan keselamatan kepada Hyang Widhi.
- Upacara Purnama

Upacara Purnama ini sendiri yakni memohon berkah dan karunia dari Sanghyang Widhi Wasa yang telah menerangi dunia beserta isinya. Disesuaikan dengan namanya, pelaksanaannya dilakukan ketika terjadi bulan purnma yakni setiap jatuh malam bulan penuh, dan hari suci ini dilakukan setiap 15 hari sekali.

b. Pengertian dan fungsi tempat suci
- Tempat suci Hindu adalah suatu tempat maupun bangunan yang dikeramatkan oleh umat Hindu atau tepat persembahyangan bagi umat Hindu untuk memuja Brahman beserta aspek-aspeknya
- Tempat-tempat suci yang di dalam agama Hindu disebut Pura Kahyangan,
Candi atau Mandir itu ada dua macam  
yaitu:
a. Pura tempat untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Tuhan, Hyang Widhi Wasa dengan berbagai manifestasinya di sebut Pura Kahyangan.
b. Pura atau tempat suci untuk memuja roh leluhur yang sudah dipandang suci atau roh para Rsi yang dianggap telah menjadi dewa-dewa atau Bhatara Bhatari ini disebut Pura Dadya, Pura Kawitan atau Pura Pedharman.
- Tujuan dan fungsi dari Pura sebagai tempat suci yang dibangun secara khusus menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula ialah untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi serta prabhawanya untuk mendapatkan waranugraha.
c. Jenis-jenis tempat suci
1. Pura :  Istilah pura berasal dari kata Pur yang artinya Kola, bening. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian. Sebelum Pura diperkenalkan sebagai tempat suci atau tempat pemujaan, dipergunakan Hyang atau Kahyangan untuk tempat pemujaan umat Hindu.
2. Candi : berasal dari kata Candika Grha artinya Rumah Durga. Dan pengertian ini akhirnya candi dijadikan tempat pemujaan untuk Dewi Durga. Di India candi merupakan sarana pemujaan, dan merupakan simbol gunung Mahameru sebagai tempat para Dewa. Maka itu, candi merupakan tempat pemujaan kepada dewa. Nama lain candi adalah Prasada, Sudarma, Mandira.
3. Kuil atau Mandir
Kuil (Mandir) adalah tempat suci umat Hindu dari keturunan India Tamil. Fungsi Kuil adalah tempat suci untuk memuja manifestasi Tuhan (Dewa) yang dikagumi.
4.   Balai Antang
Balai Antang adalah tempat suci umat Hindu dari Kaharingan. Balai Antang ini dibuat dari kayu yang dirangkai sehingga bentuknya mirip dengan pelangkiran di Bali. Fungsi Balai Antang adalah sebagai tempat menstanakan roh leluhur yang sudah di sucikan yang bersifat sementara.
5.   Balai Kaharingan
Balai Kaharingan adalah tempat suci umat Hindu dari Kaharingan. Bentuk hampir mirip bangunan rumah, dan di ruangan diletakkan sebuah tiang yang besar sebagai penyangga. Atapnya bersusun tiga, semakin keatas semakin kecil. Fungsi Balai Kaharingan adalah untuk menstanakan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Balai Kaharingan dibangun ditengah-tengah wilayah masyarakat atau pada tempat yang mudah dijangkau oleh umat Hindu Kaharingan untuk melaksanakan persembahyangan.
6.  Sandung adalah tempat suci umat Hindu Kaharingan. Sandung terbuat darI kayu dirangkai berbentuk pelinggih rong satu, bentuk atapnya segi tiga sama kaki dan memakai satu tiang sebagai penyangga. Sandung diletakkan diluar rumah atau dipekarangan. Fungsi Sandung adalah sebagai Stana roh leluhur yang telah disucikan.
7.      Inan Kapemalaran Pak Buaran Adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja, dengan ciri-cirinya terdapat Lingga/batu besar, Pohon Cendana dan Pohon Andong. Pak Buaran merupakan tempat sembahyang yang digunakan dalam lingkungan satu Desa (di Bali sama dengan Pura Desa).
8.      Inan Kapemalaran Pedatuan adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja. dengan ciri-cirinya, terdapat lingga / batu besar. pohon cendana dan pohon andong. Pedatun ini merupakan tempat sembahyangyang digunakan dalam beberapa lingkungan keluarga (di Bali = Banjar). Pedatuan ini biasanya terleiak dilereng Gunung.
9. Inan Kapemalaran Pak Pesungan adalah tempat sembahyang bagi umat Hindu di Tanah Toraja, yang digunakan dalam lingkungan rumah tangga (di Bali = merajan).
10.  Sanggar adalah salah satu bentuk tempat persembahyangan umat Hindu di Jawa. Sanggar ini merupakan tempat suci yang ukuran ruangnya kecil yang berisikan satu buah Padmasana untuk tempat persembahyangan yang bersifat umum.
11.  Pajuh-pajuhan adalah tempat persembahyangan umat Hindu Batak Karo. Pajuh-pajuhan terbuat dari kayu yang dirangkai berbentuk segi empat. Pajuh-pajuhan biasanya dibangun dekat mata air dan sifatnya umum yaitu tempat sembahyang secara umum. Fungsinya adalah stana roh leluhur yang telah disucikan.
12.  Cubal – cubalan adalah tempat sembahyang umat Hindu Batak Karo Cubal-Cubalan bentuknya sejenis pelangkiran yang diletakkan didalam rumah yang Tujuannya untuk melakukan persembahyangan dan yadnya yang ditujukan pada roh leluhur dan Hyang Widhi.
d. Bentuk-bentuk tempat suci
- Prasada : Bentuknya serupa tugu, terdiri dari tiga bagian yaitu Dasar. Badan dan Atap.
- Meru : Pada umumnya atapnya adalah dari ijuk, bagian dasar pada umumnya terbuat dari batu alam dan badan Meru terbuat dari bahan kayu.
- Gedong : bentuk Gedong pada umumnya bujur sangkar atau segi empat. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian yaitu : dasar, badan, dan puncak atau atap.
Rong tiga : bentuk bangunan Rong Tiga pada umumnya sama dengan bangunan gedong yakni empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian dasar dibuat dari batu padas, disusun sesuai dengan bentuk bangunan.
-Tugu : bentuknya seperti prasada tapi ukurannya agak kecil. Fungsi Tugu adalah untuk tempat bersemayamnya para Bhuta agar tidak mengganggu aktifitas manusia pada saat malaksanakan upacara suci.
- Padmasana : bentuk Padmasana digambarkan dengan bentuk bunga teratai sebagai simbol stana Hyang Widhi.
e. Data dan alamat pura yang ada di Jakarta Selatan
- Pura Amerta Jati
Jl. Punak, Pangkalan Jati, Cinere, Jakarta – Selatan. Telepon : 021-7545727
Pujawali : Purnama Sasih Kasa
-  Pura Mertha SariJl. Kenikir No. 20 Desa Rengas, Rempoa, Ciputat Timur, Tangerang Selatan.Telepon : 021-7421161 Pujawali Purnama Sasih Sada Pemangku Gede     :  Jero Mangku  I Wayan Ardana
f. Candi-candi Hindu di Indonesia

- Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
      Candi ini terletak di desa Prambanan, pulau Jawa, kurang lebih 20 kilometer timur Yogyakarta, 40 kilometer barat Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Rara Jonggrang terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten.
     Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.
      Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram.

Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
      Candi ini terletak di desa Prambanan, pulau Jawa, kurang lebih 20 kilometer timur Yogyakarta, 40 kilometer barat Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Rara Jonggrang terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten.
     Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.
      Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram.



 - Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi.
      Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
      Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C). Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Selain itu, obyek wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang mengandung belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda.


- Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda. Candi ini terletak bersebelahan dengan makam Embah Dalem Arief Muhammad, sebuah makam kuno pemuka agama Islam yang dipercaya sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang. 


14. Hari-Hari Suci dan tempat-tempat Suci Agama Budha
a. Hari-hari suci (Waisak, Asadha, Kathina)
- Waisak 

   Hari Waisak memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gaotama. Hari waisak menandai pula pergantian tahun, karena Tarikh Buddhis dimulai sejak Buddha Gotama parinirwana.
   Perayaan Hari Waisak di Indonesia mengikuti keputusan WFB. Secara tradisional dipusatkan secara nasional di komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Rangkaian perayaan Waisak nasional secara pokok adalah sebagai berikut:[2]
  1. Pengambilan air berkat dari mata air (umbul) Jumprit di Kabupaten Temanggung dan penyalaan obor menggunakan sumber api abadi Mrapen, Kabupaten Grobogan.
  2. Ritual "Pindapatta", suatu ritual pemberian dana makanan kepada para bhikkhu/bhiksu oleh masyarakat (umat) untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan kebajikan.
  3. Samadhi pada detik-detik puncak bulan purnama. Penentuan bulan purnama ini adalah berdasarkan perhitungan falak, sehingga puncak purnama dapat terjadi pada siang hari.
- Asadha

  Dua bulan setelah purnama Waisak umat Buddha merayakan hari Asadha. Asadha adalah hari Dharma, karena memperingati pembabaran Dharma yang pertama kali. Di Taman Rusa Istipatana, Sarnath dekat Benares, Buddha menyampaikan khotbah pertama yang dinamakan Dhammacakkappavattana-sutta (pemutaran roda dharma) kepada lima orang petapa. Mereka adalah Kondanna, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji, teman–teman nya bertapa yang menempuh cara menyiksa diri. Cara ekstremtersebut sudah ditinggalkan oleh Buddha. Kelima petapa itu memahami Dhama, ditahbiskan menjadi biku, dan selanjutnya berhasil menjadi Arahat. Sejak itu terbentuklah Ariya-Sangha. 
- Kathina 

   Setelah Hsri purnama Asadha, para biku memasuki masa vassa atau masa penghujan di India Utara. Selama tiga bulan mereka tidak melakukan perjalanan, mulanya agar tidak menginjak tunas-tunas tanaman dan mengganggu berbagai bentuk kehidupan lain.
   Hari berikutnya hingga purnama di bulan Kartika dapat dipilih salah satu hari dari waktu ke waktu satu bulan itu untuk menyelenggarakan upacara Kathina. Maka Kathina tidak hanya sehari, tetapi upacara Kathina yang diselenggarakan di wihara tempat para biku menjalani Vassa hanya boleh dilaksanakan sekali saja.
   Kathina sebenarnya bukan suatu upacara peringatan. Upacara ini tidak bias diselenggarakan jika tidak ada sejumlah biku yang melaksanakan kewajiban Vassa dan tidak ada umat yang berdana.
- Mogha Puja

   Mogha Puja memperingati berkumpulnya 1250 biku Arahat yang di tahbiskan sendiri oleh Buddha. Para Arahat tersebut memiliki 6 kekuatan ghaib. Mereka hadir tanpa diundang dan tanpa kesepakatan terlebih dahulu. Pertemuan itu berlangsung di Taman Tupai di hitan bamboo Veluvana-arama, Rajagaha.
    Pada kesempatan tersebut Buddha membabarkan Ovada-Patimokkha, esensi ajaran Buddha dan aturan-aturan pokok bagi para biku. Magha-Puja dirayakan dua minggu setelah Tahun Baru Imlek, bersamaan waktu dengan Capgome, tetapi Magha Puja bukanlah Capgome (hari penutupan perayaan Tahun Baru Imlek)
- Siripada Puja

  Siripada Puja adalah upacara penghormatan kepada tapak kaki suci Sang Buddha karena telah mengajarkan tiga kebenaran yakni mengembangkan cinta kasih, tidak berbuat kejahatan dan menyucikan pikiran. Satu per satu umat mendekat lalu berlutut di hadapan para bhikku. Beragam persembahan pun diberikan. Mulai dari jubah, obat, perlengkapan kebersihan, hingga kebutuhan sehari-hari, misalnya sabun dan pasta gigi.
b. Pengertian dan fungsi Vihara
    Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha dan mempunyai fungsi sebagai tempat ibadahnya umat Buddha.
c. Candi-candi Budha di indonesia
-
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
      Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
      Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
      Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.

- Candi Sewu adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Prambanan. Meskipun aslinya terdapat 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
      Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

- Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
 







Referensi
[1] http//perkembanganhindu-budhadiindonesia@2008.htm
[2] http// Bukti interaksi kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia- Materi Sejarah SMA.htm
[3] http// Bukti interaksi kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia- Materi Sejarah SMA.htm
[4] http// Agama Hindu Dharma-Wikipedia-bahasa-Indonesia, ensiklopedia_bebas.htm
[5] http// /Buddha-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
[6] http//Trimurti.htm
[7] Panitia Tujuh Belas, “Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam Masa Pembangunan”, Jakarta: Yayasan Metra Sari, 1986. Hal: 173
[8] http//konsep ketuhanan dalam Budha. htm
[9] http//konsep adi budha.htm
[10] http//bhakti puja.htm
[11] http// penciptaanmanusiadalamajaranhindu.htm
[12] http//alamsemestadalam ajaranhindu. Htm
[13] Ali, Abdul Mukti, Pengantar Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998. Hal: 124
[14] Ali, Abdul Mukti, Pengantar Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998. Hal: 125
[15]  Ali, Abdul Mukti, Pengantar Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998. Hal : 121
[16] Panitia Tujuh Belas, “Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam Masa Pembangunan”, Jakarta: Yayasan Metra Sari, 1986. Hal: 117.
[17]  Ibid., hal: 128
[18] Ibid., hal: 1129
[19]  http//siladalambudha.htm
[20] http//siladalambudha.htm
[21] Panitia Tujuh Belas, “Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam Masa Pembangunan”, Jakarta: Yayasan Metra Sari, 1986. Hal: 118-119
[22]  http//www.caturmara.htm
Mukti, Krishnanda Wijaya “Wacana Buddha Dharma”. Jakarta: Yayasan Dharma Pembagunan dan Ekayana Buddhist Centre. 2003.

1 komentar:

  1. kata orang Buddha mungkin akan tepat jika dikatakan umat Buddha :)

    BalasHapus